Kamis, 25 Maret 2010

Kesehatan Anak

KERAP DIGENDONG, BIKIN ANAK MANJA
Kontak tubuh yang terjadi saat menggendong bayi dapat memberinya rasa aman dan nyaman. Agar tak berdampak negatif, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Menggendong terutama dilakukan saat kita hendak menidurkan, menenangkan, atau menyusui bayi. Dalam gendongan yang merupakan kontak kulit dengan orang tua, bayi akan merasa aman, nyaman, dan merasakan sentuhan kasih sayang orang tua. "Memiliki rasa aman sangat berguna untuk perkembangan anak yang akan datang. Kelak dia akan tahan secara psikis terhadap stres-stres yang ada," kata dr. Asti Praborini, SpA, dari RS MH Thamrin Internasional, Salemba Jakarta yang juga salah seorang pengurus IDAI Jaya.
Memang, lanjut Rini, "secara psikis ada hubungan antara kedekatan bayi dengan orang yang sering menggendongnya. Antara lain, karena bayi dapat mengenali aroma tubuh orang yang kerap menggendongnya. Sebaliknya orang tua yang tidak pernah menggendong bayinya, tidak akan memiliki kedekatan dengannya."
PERHATIKAN POSISI
Dalam menggendong bayi ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain posisi menggendong. "Bila bayinya masih kecil sekali, mungkin di bawah 4 bulan, tentunya si bayi digendong dengan posisi terbaring. Bayi baru lahir hingga usia 3 bulan belum mempunyai keseimbangan yang baik. Leher, punggung dan kaki belum bisa dengan baik menyangga tubuhnya, sehingga ketiga bagian ini harus mendapat topangan di saat kita menggendongnya.
"Sebaiknya, satu tangan dipakai untuk menahan bokong bayi dan tangan lainnya menyangga punggung, leher, dan kepala. Kalaupun menggendongnya dengan menggunakan jarit perlu sering-sering dilihat bayinya. "Dikhawatirkan, posisi bayi berubah tanpa ketahuan sehingga membahayakan," kata Rini.
Biasanya, setelah usia bayi 3 bulan, leher dan punggung bayi sudah kuat dan tegak, sehingga bayi siap digendong dengan posisi lain. "Orang tua bisa menggendongnya di samping, sambil kaki si kecil melingkari pinggul ibu/ayah. Biasanya cukup ditopang bagian pinggangnya, sebab kepala dan punggungnya sudah kuat," ujar Rini.
Menggendong anak di pinggang dengan kaki mengangkang tak berbahaya, kok. Juga tak ada hubungannya dengan kaki berbentuk X atau O. Kelainan bentuk kaki seperti itu sudah didapat sejak lahir, bukan karena salah menggendong. Hanya saja memang, kalau bayi memiliki kelainan tulang atau penyakit-penyakit tulang khusus, semisal kerapuhan tulang, menggendong seperti ini akan memperparah keadaannya. Begitu juga dengan cacat panggul bawaan."
MENGHINDARI "BAU TANGAN"
Yang jelas, digendong bisa jadi kebiasaan. Bukankah bayi merasa nyaman dan aman. Orang mengistilahkannya "bau tangan", jika tak digendong, ia akan rewel, tak bisa tidur atau gelisah. Masalah seperti ini, menurut Rini, umumnya terjadi pada bayi-bayi yang tinggal dengan keluarga besar seperti nenek, kakek, tante, om, dan sebagainya karena mereka sering ikut menggendongnya secara bergantian.
Lain hal kalau bayi tinggal hanya dengan keluarga inti atau ayah ibu yang keduanya bekerja. Biasanya, kepada pengasuh di rumah mereka mewanti-wanti agar jangan membiasakan bayinya digendong terlalu lama. "Jadi, apakah nantinya anak jadi manja, tak mandiri dan terbiasa digendong, sebetulnya berpulang pada pola asuh keluarga itu sendiri," simpul Rini.
Ia pun menyarankan, agar anak tetap merasa aman dan nyaman meski tanpa kebiasaan digendong, sebaiknya orang tua tidak melepaskan anaknya sama sekali. Menggendong tetap bisa dilakukan pada saat-saat tertentu seperti sedang rewel, menangis, mimpi buruk, atau sakit. Ini penting untuk membangun rasa amannya, jadi jangan tidak pernah digendong sama sekali. Sebaliknya, jangan juga terlalu memanjakan. Terutama kalau bayi sudah bisa merangkak, orang tua tak perlu sering menggendongnya.
Menggendong dihentikan bila usia bayi sudah di atas 8 bulanan atau sudah bisa berdiri dan belajar berjalan. Di usia ini pun berat badannya sudah mencapai 8 kg lebih sehingga gampang membuat kita lelah jika menggendongnya. Orang tua juga bisa meminta pengasuh di rumah untuk mengurangi ketergantungan anak dengan tidak menggendongnya ke mana-mana.
AKIBAT SELALU DIGENDONG
Lagipula, keseringan digendong bisa membuat bayi jadi malas bergerak. Malas menggerakkan kaki dan pinggulnya untuk berjalan, misalnya. Tentu ini akan menghambat pergerakan motorik anak.
Secara psikologis, kebiasaan digendong, terutama setelah bayi berumur di atas 8 bulan akan mendorongnya menjadi anak yang manja. Apa yang dia inginkan tinggal tunjuk dan orang yang menggendongnya akan mengambilkan. Bisa saja ia menjadikan tangisan sebagai senjata agar digendong. Tentunya yang paling banyak menggendong akan menerima akibatnya. Karena itu diperlukan sikap yang tegas.
Untuk mengatasi ketergantungan digendong, ketika anak sudah bisa merangkak taruhlah dia dalam boksnya. Kalau sudah besar coba dudukkan dengan nyaman. Alihkan pada hal lain agar tak selalu minta digendong, mungkin dengan mengajaknya bermain atau bercanda.
Kalaupun usianya sudah lebih besar, tak perlu digendong tapi bisa dengan cara lain seperti memberinya pelukan atau mendekapnya sambil duduk dan sebagainya. Meskipun kontak itu mungkin hanya dilakukan sebentar-sebentar tapi skin to skin contact akan sangat berharga buat anak.

Sumber :
Dedeh Kurniasih. Foto Iman Dharma S/Nakita

Peranan Suami Dalam Kehamilan

Dukungan dan peran serta suami dalam masa kehamilan terbukti meningkatkan kesiapan ibu hamil dalam menghadapi proses persalinan, bahkan juga memicu produksi ASI. Jadi, tunggu apa lagi?
Keterlibatan Anda, para pria, sejak awal masa kehamilan, sudah pasti akan mempermudah dan meringankan pasangan dalam menjalani dan mengatasi berbagai perubahan yang terjadi pada tubuhnya akibat hadirnya sesosok “manusia mungil” di dalam perutnya.Bahkan, keikutsertaan pria secara aktif dalam masa kehamilan, menurut sebuah penelitian yang dimuat dalam artikel berjudul “What Your Partner Might Need From You During Pregnancy” terbitan Allina Hospitals & Clinics (tahun 2001), Amerika Serikat, keberhasilan istri Anda dalam mencukupi kebutuhan ASI untuk si bayi kelak sangat ditentukan oleh seberapa besar peran dan keterlibatan Anda dalam masa-masa kehamilannya.
google_protectAndRun("render_ads.js::google_render_ad", google_handleError, google_render_ad);
Trimester pertama: masa penuh gejolak emosiSelama hamil, ada begitu banyak perubahan pada tubuh pasangan Anda, dan yang paling menonjol adalah perubahan keadaan emosinya. Apa sebabnya? Kadar hormon estrogen dan progesteron di dalam tubuhnya berubah. Tak mengherankan bila mood -nya berubah-ubah terus. Kalau sudah begini, siapa lagi, selain Anda, yang paling tepat untuk membantunya melalui masa-masa ini? Yang pasti, jangan merasa sebal kalau Anda harus terus-terusan standby untuk sewaktu-waktu “dipanggil” sebagai teman curhat, namun di lain waktu “dipanggil” sebagai “tukang pompa” semangatnya. Pintar-pintar atur peran saja!Berikut beberapa hal yang bisa jadi “bekal” bagi Anda saat “berurusan” dengan pasangan.Yang dialami pasangan:- Sering mual-mual dan muntah, terutama pada pagi hari, karena dia mengalami morning sickness.- Menjadi cepat lelah dan mudah mengantuk.- Mungkin tiba-tiba meminta atau menginginkan sesuatu yang “aneh”. Misalnya, mengelus-elus perut buncit penjual daging di pasar atau makan rujak jam 2 pagi.- Emosinya cepat sekali berubah. Semula tampak gembira, namun dalam beberapa detik bisa mendadak menangis tersedu-sedu, merasa tertekan dan sedih, tanpa sebab yang jelas atau karena masalah sepele.Yang dapat Anda lakukan:- Bawakan krekers dan air putih atau jus buah ke tempat tidur. Sehingga, begitu dia bangun dan morning sickness mendera, keluhan yang dirasakannya langsung “hilang” berkat perhatian dan kasih sayang Anda.- Buatlah pasangan merasa nyaman, sehingga dia dapat beristirahat dan cukup tidur. Misalnya, memutar lagu-lagu yang lembut.- Bersiaplah menghadapi “ujian” untuk mengukur seberapa besar cinta Anda padanya. Jangan kaget bila dia menginginkan sesuatu yang “aneh” di tengah malam! Dia ‘ kan sedang ngidam ! Bila mampu, tak ada salahnya memenuhi permintaannya. Siapa tahu Anda “lulus ujian” dengan nilai cemerlang nantinya.- Tunjukkan rasa bahagia dan antusias terhadap janin dalam kandungan. Sapaan yang ekspresif terhadap si kecil, misalnya “Hallo, lagi ngapain di situ?” atau seruan “Woa…” sudah merupakan dukungan mental yang menyenangkan hati. Juga, ungkapkan perasaan cinta Anda padanya karena pada saat-saat seperti ini dia membutuhkan perhatian dan kasih sayang Anda lebih dari biasanya.
Trimester kedua: masa-masa bahagiaInilah saatnya pasangan merasakan nikmatinya masa-masa kehamilan. Makanya, Anda tidak sebegitu “tersiksanya” ketimbang trimester lalu. Dan, mulai ikut merasakan gerakan janin mau tidak mau akan “menyentil” Anda kalau sekarang ini Anda baru bisa “benar-benar” merasakan peran baru Anda, sebagai calon ayah!Yang dialami pasangan:- Emosi cenderung lebih stabil dan keluhan morning sickness juga jauh berkurang.- Si kecil sudah mulai “beraksi”.- Merasa bahagia dengan kehamilannya sehingga lebih bersemangat melakukan latihan (olahraga ringan sesuai anjuran dokter) serta beraktivitas.– Cukup nyaman dengan keadaannya, sehingga mulai timbul keinginan untuk menikmati hubungan seks.Yang dapat Anda lakukan:- Tetap menunjukkan kalau Anda mengerti dan memahami benar perubahan emosi yang cepat serta perasaan lebih peka yang dialaminya, sebab ini wajar dan alami terjadi pada ibu hamil.- Dampingi dan antarlah selalu pasangan setiap kali berkunjung ke dokter kandungan untuk memeriksakan kandungannya.- Dampingi dan berpartisipasilah secara aktif di kelas senam hamil (senam Lamaze) bersamanya.- Ajaklah dia untuk kembali menikmati hubungan seks.
Trimester ketiga: takut dan cemas menghadapi hari-HMasa ini merupakan masa-masa penantian yang “melelahkan”. “Perjalanan” menuju persalinan tinggal hitungan hari saja. Itu sebabnya, Anda akan lebih banyak berperan sebagai a shoulder to cry on.Yang dialami pasangan:- Semakin dekat dengan hari-H, biasanya dia merasa semakin takut dan cemas.- Merasa penampilannya tidak menarik karena perubahan bentuk fisiknya.- Sering mengeluh sakit, pegal, ngilu, dan berbagai rasa tidak nyaman pada tubuhnya, terutama pada punggung dan panggul, karena bayi sudah semakin besar dan sudah mulai menyiapkan diri untuk lahir.- Mengeluh sulit tidur karena perutnya yang semakin membesar itu akan membuatnya tidak nyaman ketika berbaring.Yang dapat Anda lakukan:- Bantu pasangan untuk mengatasi rasa cemas dan takut dalam menghadapi proses persalinan. Misalnya, dengan mengalihkan perhatiannya dengan cara mengajaknya berbelanja keperluan si kecil.- Pujilah kalau dia tetap cantik dan menarik. Berbagai perubahan fisik tidak sedikitpun mengurangi kadar cinta Anda padanya.- Bantulah meringankan berbagai keluhan. Misalnya, dengan memijat pegal-pegal di belakang tubuhnya.- Bersiaplah untuk membantu dan menemaninya saat dia sulit tidur.

Sumber :
Sri LestariningsihKonsultasi ilmiah: dr. Lastiko Bramantyo, Sp.OG, POGI Jaya, RS Ibu dan Anak Hermina, Jakarta

MENJADI AYAH YANG HANGAT

Kesibukan kerja orang tua terbukti telah merampas waktu buat anak-anak, bisa mengakibatkan munculnya perilaku negatif. Tapi sebenarnya ada beberapa jalan untuk tetap menjaga hubungan yang harmonis antara ayah dan anak.
Ketika Richard Nixon berhenti sebagai presiden AS pada 9 Agustus 1974, dia menyampaikan kata perpisahan pada stafnya di Gedung Putih. Dalam kata sambutannya Nixon ingat akan ayahnya. "Ayah adalah orang yang hebat," katanya.
Kesan Nixon menggambarkan betapa sosok ayah sangatlah berarti bagi seorang anak. Apakah sang ayah sukses atau tidak di masyarakat bukanlah soal besar; ayah tetaplah pahlawan bagi anak-anaknya. Buat anak, ayah adalah kombinasi seorang pahlawan, pembimbing, penasihat, pelindung, guru, sekaligus kawan.
Seorang teman mengisahkan, setiap hari ia bersama suaminya pergi ke kantor yang kebetulan berlokasi sama. Menjelang malam mereka baru tiba di rumah. Kedatangan pasutri ini disambut dengan suka cita oleh anak lelakinya yang berumur 11 bulan di teras rumahnya. Anehnya, kendati si ibu berada di depan, justru sang ayahlah yang lebih hangat disambut. "Anak saya baru butuh saya kalau lagi lapar atau sakit," kata ibu muda itu.
Menjadi ayah yang "hangat" memang tidak berhenti pada saat anak lahir. Justru ketika itulah proses awal menjadi ayah yang baik dimulai. Sayangnya, hal itu tidak mudah untuk dilakukan. Apalagi di luaran tidak tersedia lembaga pendidikan khusus - lebih-lebih yang formal - untuk melatih atau mempersiapkan seorang laki-laki menjadi ortu (orang tua) yang baik. Posisi sebagai ortu biasanya diambil secara otomatis atau begitu saja. Akibatnya, sering terjadi proses pendidikan terhadap anak juga dilakukan secara otomatis, sadar atau tidak, sama seperti yang pernah diperoleh dari ortunya dulu. Parenthood
Lantaran warisan pendidikan turun-temurun inilah banyak orang beranggapan, pengasuhan anak dalam keluarga menjadi porsi ibu. Namun, menurut Irwanto, Ph.D. dari Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Unika Atmajaya, Jakarta, pandangan itu mulai berubah. Sejak tahun 1997 ada dorongan gerakan partisipasi laki-laki di dalam keluarga. Gerakan di tingkat dunia ini muncul lantaran selama kurun waktu 15 - 20 tahun terakhir, terjadi pergeseran konsep dari motherhood menjadi parenthood. Dalam konsep parenthood, bukan hanya ibu yang penting, tetapi orang tua, dan orang tua itu dua: ayah dan ibu.
Dari sini mulai dikembangkan konsep orang tua yang baik dan hangat. "Di masa lalu yang namanya ayah itu selalu ditakuti. Ia juga figur yang dianggap sebagai penanggung jawab moral keluarga, yang menurunkan nilai-nilai penting pada anak-anaknya. Untuk itu ayah harus menakutkan. Kalau perlu, ayah tak perlu banyak bicara tapi anak takut," urai Irwanto.
Dilihat dari trend-nya, banyak ayah muda masa kini di berbagai belahan dunia merasa tidak adil kalau harus jadi sosok yang menakutkan. "Masa sosok seorang ayah harus ditakuti oleh anak-anaknya, sehingga ia diajuhi atau jauh dari anak-anaknya," begitu pikir mereka. Dari sini timbul kesadaran bahwa ayah masa kini tidak ingin seperti ayah zaman dulu.
Menurut doktor psikologi bidang perkembangan anak ini, ayah masa kini mungkin sedikit lebih cerewet tapi jauh lebih dekat dengan anaknya. Bisa bermain, bisa apa saja, bahkan bisa menjadi teman bagi anak-anaknya sendiri.
Lalu, apa peranan ayah yang spesifik bagi anak-anaknya? Secara tegas Irwanto menyatakan, ayah berperan dalam membangun citra diri anak. Khususnya citra diri mengenai kelaki-lakian. Kedua orang tua diharapkan menunjukkan pada anaknya bahwa tanggung jawab keluarga itu memang dipikul bersama-sama. Misalnya, mengasuh anak, bernyanyi, bermain dengan anak-anak. Artinya, wawasan gender dalam peran laki-laki dan perempuan itu tidak dipersempit, tetapi sebaliknya diperluas.
Irwanto tidak menampik pandangan bahwa menjadi ayah modern sering dihadapkan pada stereotipe tertentu. Misalnya, kalau anak pegang kepala orang lain (atau orang tua), hal itu dianggap kurang ajar. Apalagi kalau di Jawa, pegang kepala itu bisa kualat. Nah, untuk menjadi ayah yang hangat, asumsi semacam itu harus diterjang. Untuk itu perlu dikembangkan konsep pertemanan di mana ayah tidak selalu memerintah ataupun melarang, dan sebagai orang tua mereka juga bisa ditegur atau diajak bermain.
Salah satu persiapan penting menjadi ayah yang efektif adalah persiapan sebelum anak lahir. Di sana ayah belajar memahami anak, misalnya dengan mendengarkan cerita ibu tentang anaknya yang sedang dikandung, belajar mengganti popok
menggunakan boneka, dan sebagainya. Sayang, banyak laki-laki yang tidak percaya diri untuk mengasuh anak. Sebaliknya, istri jangan lalu mengejek suaminya, misalnya ketika salah memandikan bayi. <.p>
Untuk menjadi ayah yang baik memang tidak mudah. "Seperti saya yang tukang seminar. Kalau pulang ke rumah saya sering diprotes anak. Papi tadi omong begitu buktinya begini. Papi ini katanya psikolog tapi sama anaknya sendiri saja enggak ngerti," papar Irwanto mengambil contoh dirinya sendiri menghadapi anaknya yang usia SD, yang umumnya sangat kritis terhadap ayah.
Nah, agar anak tak kecewa, harus diupayakan menyediakan waktu khusus untuk mereka. Kalau hal ini diabaikan, orang tua akan sukar untuk bisa dekat dengan anak. Dengan waktu yang terbatas orang tua tidak bisa berbicara banyak. Dalam arti memberi peluang seluas-luasnya bagi anak untuk bercerita dan didengarkan. Sebaliknya, seringnya pertemuan juga tak menjamin keharmonisan apabila di dalamnya selalu diwarnai percekcokan. "Jadi, waktunya jangan terlalu besar dan mutunya jangan terlalu buruk," ujar Irwanto.
Sempitnya waktu yang sering dijadikan alasan tidak bisa kontak lebih lama dengan anak sebenarnya dapat dicarikan jalan keluar. Sekali lagi Irwanto mengambil contoh dirinya sendiri. Sebagai peneliti senior yang sibuk, ia berusaha selalu menyediakan waktu, dengan mengantarkan anaknya ke sekolah atau menemani berenang. Apa yang dia lakukan merupakan salah satu bentuk tanggung jawab sebagai ayah. Soalnya, selama dua tahun terakhir sebelas kali harus ke luar negeri dalam setahun. Belum lagi jadwal perjalanan ke luar kot a di dalam negeri. "Makanya, kalau pada hari-hari libur saya diminta sebagai pembicara, saya minta diperbolehkan membawa keluarga."
Secara psikologis pun kalau orang tua sering bertemu dan berdialog dengan anak, anak akan menghormati orang tuanya. Dari berbagai literatur terungkap, semakin besar dukungan ayah terhadap anak, semakin tinggi perilaku positif anak. Jadi, ayah yang selalu mendukung dan menunjukkan perhatiannya itu akan mereduksi perilaku negatif si anak. Seperti perahu dayung
Hubungan antara ayah dan anak ada yang menggambarkan seperti dua orang yang berperahu dayung, keduanya harus saling mengisi. Pada suatu saat, sang ayah harus mendayung kuat atau lemah untung mengimbangi kemampuan mendayung sang anak. Mereka juga harus sering berkomunikasi satu sama lain bila melalui arus yang deras. Apabila komunikasi berjalan lancar, maka perjalanan itu akan menyenangkan dan akhirnya sampai ke tujuan dengan selamat.
Dalam pandangan Seto Mulyadi, psikolog, seorang ayah harus mengenali lima ciri anak untuk dapat membina komunikasi yang efektif. Yakni menyadari bahwa anak adalah pribadi yang masih suka bermain, masih terus berkembang, senang meniru, kreatif, dan bukan orang dewasa mini. Menurut dia, hubungan akan harmonis bila ayah mendengar aktif. Istilah ini berhubungan dengan proses mendengar di mana penerima berusaha untuk mengerti perasaan pengirim atau berusaha mengerti arti pesan yang dikirim. Melalui proses mendengar aktif terjadi semacam katarsis (kelegaan emosional) pada anak. Dengan begitu ortu memperlihatkan ia menerima perasaan anak, sehingga anak terdorong untuk dapat menerima perasaan-perasaannya sendiri.
Erik Erikson dari Universitas Harvard mengungkapkan, ayah yang efektif bisa dibentuk bila ia memfokuskan pada tujuh hal yakni menciptakan relasi yang sehat, menyediakan kebutuhan fisik dan keamanan, menerima adanya perubahan, menanamkan nilai-nilai moral, menanamkan nilai spiritual, menggali hal-hal yang menyenangkan, dan membantu anak mengembangkan kemampuannya.
Riset terbaru mengungkapkan, ayah yang "hangat" membuat anak lebih mudah menyesuaikan diri, lebih sehat secara seksual, dan perkembangan intelektualnya lebih baik. "Keterlibatan ayah dalam keluarga akan meningkatkan IQ anak sampai 6 - 7," kata T. Berry Brazelton, seorang dokter anak. Di samping itu anak akan lebih memiliki rasa humor, lebih percaya diri, dan punya motivasi belajar.
Menurut Dr. Lousi B. Silverstein dari Universitas New York, AS, ada hubungan langsung antara pertemuan ayah-anak dan tingginya tingkat agresivitas anak, serta tingkah laku yang cepat dewasa pada anak perempuan.
Cuma masalahnya, bagaimana membina hubungan mesra antara ayah dan anak? Banyak yang bisa dilakukan, misalnya dengan bermain bersama, membantu membuat (dalam arti mengajari)pekerjaan rumah, dan meningkatkan kualitas maupun kuantitas kebersamaan dengan anak di rumah maupun di luar rumah. Contoh kebersamaan ini antara lain bisa ditempuh dengan cara seperti yang dilakukan pria profesional muda yang tinggal di bilangan Bekasi. Ia suka mengajak anaknya yang berumur lima tahun naik kereta api. Bukan kereta api jarak jauh, tetapi kereta api jurusan Jakarta Kota - Bogor. "Anak saya senang sekali," katanya.
Satu hal yang juga perlu diperhatikan, jangan sampai kelimpahan materi menggusur hubungan pribadi. Bekerja keras merupakan keharusan, tetapi setiap ayah perlu menghindari godaan materi. Ayah yang bijaksana tahu bahwa relasi ayah-anak bukanlah soal material, tetapi kepuasan hidup. Itu bisa berarti sebuah pilihan. Misalnya saja, mana yang lebih penting, mempunyai rumah di atas tanah seluas 3.000 m2 dengan kolam renang yang indah, atau membuat setiap penghuni rumah merasa kerasan tinggal di dalamnya? Atau, mana yang lebih utama, mempunyai dapur yang indah atau kepastian setiap anggota keluarga bisa duduk bersama saat makan malam dan berbagi pengalaman? ?
Ayah yang efektif dan ayah yang tidak efektif bisa dinilai dari kenal-tidaknya mereka pada anaknya. Ayah yang efektif tahu apakah telah mengecewakan anaknya. Pun dia tahu hal-hal apa saja yang disukai anaknya. Ayah seperti ini juga tahu perbedaan anaknya dengan anak-anak tetangga. Mereka pun sangat peduli dengan karakter si anak.
Ken R. Canfield, pengarang buku The Seven Secrets of Effective Fathers yang meneliti 4.000 orang ayah sampai pada kesimpulan bahwa seorang ayah yang baik tahu keadaan anaknya bila sang anak tengah menghadapi masalah atau bagaimana harus meneguhkan hati anak.
Cara lain membina hubungan yang lebih baik dengan anak adalah melibatkan mereka dalam pekerjaan ayah. Kebanyakan anak memandang kantor, pabrik, atau toko tempat ayahnya bekerja sebagai sebuah tempat asing. Dengan sesekali mengajak anak ke tempat kerja akan membuat mereka kenal dengan kegiatan ayahnya sehari-hari.

Sumber :
Steve Bidhup, 2008. Rising Boys. Jakarta : Galamedia Pustaka